Kampus-Medan.Com
Kampus-Medan.Com
Online
Halo 👋
Ada yang bisa kami bantu?

Reunifikasi Korea Dengan Keterlibatan Multipihak: Suatu Studi Melalui Game Theory

Cover Disertasi Teguh Santosa meraih Doktoral dari Unpad (Foto: teguhtimur.com)

Penulis: Dr. Teguh Santosa

Ini adalah transkrip dari orasi pada Sidang Promosi Doktor di Gedung Pasca Sarjana FISIP Universitas Padjadjaran di Dago, Bandung, hari Sabtu, 6 Juli 2024. Disarikan dari naskah Disertasi yang telah diujikan di hadapan Tim Promotor dan Tim Penguji pada hari Jumat, 19 Januari 2024. Adapun upacara Wisuda dilakukan di Grha Sanusi Hardjadinata, Kampus Unpad Jalan Pangeran Dipati Ukur, Bandung, pada hari Selasa, 6 Agustus 2024.

Assalamualaikum Warrahmatulahi Wabarakatuh.

Yang saya hormati,
Ketua Sidang, Yang Amat Terpelajar Bapak. Prof. Dr. R. Widya Setiabudi Sumadinata, S.IP., M.Si.
Sekretaris Sidang, Yang Terpelajar Bapak Dr. Wawan Budi Darmawan, SIP.,M.Si.

Yang saya hormati, Tim Promotor,
Yang Amat Terpelajar Bapak Prof. Dr. Arry Bainus M.A.
Yang Amat Terpelajar Bapak. Prof. Dr. R. Widya Setiabudi Sumadinata, S.IP., M.Si.
Yang Terpelajar Bapak Dr. Wawan Budi Darmawan, S.IP., M.Si.

Yang saya hormati, Tim Oponen Ahli,
Yang Amat Terpelajar Bapak Prof. Dr. Mohammad Benny Alexandri, S.E., M.M.
Yang Terpelajar Bapak Drs. Taufik Hidayat, M.S., Ph.D.
Yang Terpelajar Bapak Dr. Arfin Sudirman, S.IP., MIR.
Yang Terpelajar Bapak Dr. Akim, S.IP., M.Si.

Pimpinan Sidang, Sekretaris Sidang, Ketua dan Anggota Tim Promotor, Tim Oponen ahli serta Penguji, dan hadirin yang saya hormati. Ijinkan pada kesempatan yang mulia ini Promovendus menyampaikan presentasi disertasi sebagai pertanggungjawaban akademik dengan judul REUNIFIKASI KOREA DENGAN KETERLIBATAN MULTIPIHAK: SUATU STUDI MELALUI GAME THEORY.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif yang menurut Patton (1990) berupaya memahami tindakan para pihak atau aktor melalui pengamatan yang diperkuat dengan analisis dokumen. Sementara Creswell (1998) mengatakan, penelitian kualitatif memberikan tekanan pada sisi proses dari permasalahan yang diteliti sehingga dapat menangkap makna secara substansial. Metode ini juga dapat digunakan untuk mengumpulkan in-depth insight dari permasalahan yang diteliti, serta dapat menghasilkan ide-ide baru untuk diteliti lebih lanjut bilamana dirasa perlu.

Dalam meneliti kebijakan luar negeri kedua Korea terkait reunifikasi Semenanjung Korea Promovendus menggunakan Game Theory khususnya varian Prisoners’ Dilemma sebagai pisau analisis.

Promovendus mengumpulkan data dengan mewawancarai narasumber kunci Duta Besar Korea Utara untuk Indonesia, Y.M. An Kwang Il, dan dua Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia, Y.M. Kim Changbeom, dan Y.M. Park Taesung. Untuk melengkapi penelitian, Promovendus juga mewawancarai mantan Dubes Indonesia untuk Korea Selatan, Y.M. Umar Hadi, serta pengamat hubungan internasional dan dosen Universitas Padjadjaran yang pernah berkunjung ke Korea Utara, Dr. Teuku Rezasyah.

Di sisi lain Promovendus memanfaatkan pengalaman pribadi dari hubungan dan interaksi dengan kedua Korea. Promovendus telah berkali-kali melakukan kujungan ke Korea Utara dan Korea Selatan serta bertemu dengan sejumlah pihak yang memiliki pemahaman mengenai isu reunifikasi Semenanjung Korea. Selain itu, Promovendus juga aktif dalam organisasi kawasan yang mengkampanyekan dan memperjuangkan reunifikasi damai Semenanjung Korea, Asia Pacific Regional Committee for Peaceful Reunification of Korea (APRCPRK). Nama organisasi ini telah diubah menjadi Asia Pacific Regional Committee for Solidarity and Friendship with Korean People (APRCSFKP).

Teguh Santosa dikala diwisuda (Foto: teguhtimur.com)

Latar Belakang

Peluang perdamaian dan penyatuan Semenanjung Korea kembali terbuka pada periode 2018 dan 2019. Masyarakat dunia menyaksikan Presiden Republik Rakyat Demokratik Korea atau Korea Utara, Kim Jong Un, dan Presiden Republik Korea atau Korea Selatan, Moon Jaein, menjalin komunikasi intens untuk mengatasi semua hambatan yang dihadapi kedua negara. Dalam waktu yang singkat itu kedua negara menggelar dua KTT, di Panmunjom pada April 2018 dan di Pyongyang pada September 2018. Selain itu, Presiden Moon juga menjembatani komunikasi antara Presiden Kim Jong Un dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Keduanya bertemu pada bulan Juni 2018 di Singapura dan pada bulan Februari 2019 di Hanoi. Namun, waktu tidak berpihak pada mereka. Perubahan rezim di Amerika Serikat pada 2020 dan di Korea Selatan pada 2022 membuat situasi politik di Semenanjung Korea kembali  memanas hingga kini, dan berdampak besar pada kebijakan reunifikasi kedua negara.

Dalam kajian politik luar negeri, reunifikasi Semenanjung Korea merupakan kebijakan luar negeri yang didasarkan pada nilai, ide, gagasan, yang berkembang di tengah masyarakat dan dirumuskan kelompok elit yang memiliki otoritas di lingkungan domestik (Holsti, 1992).

Putnam (1988) mendalilkan logika permainan dua tingkat (Two-Level Games) di mana kebijakan luar negeri merupakan resultan dari permainan di tingkat nasional dan di tingkat internasional. Di tingkat nasional, berbagai kelompok domestik memperjuangkan kepentingan dan menekan pemerintah untuk mengambil kebijakan luar negeri yang menguntungkan kelompok domestik. Sementara di tingkat internasional, pemerintah nasional dituntut meminimalkan dampak buruk dari tekanan lingkungan internasional.

Mintz dan DeRouen (2010) mengembangkan model pembuatan kebijakan luar negeri atau Foreign Policy Decision Making (FPDM) yang merujuk pada pilihan-pilihan individual, kelompok, dan koalisi di dalam lingkungan domestik yang mempengaruhi aksi atau tindakan suatu negara di lingkungan internasional.

Korut Vs. Korsel: Two-Level Games

Saat penelitian ini dimulai, reunifikasi Semenanjung Korea merupakan tugas konstitusional kedua Korea yang tercantum secara tegas di konstitusi Korea Utara maupun Korea Selatan. Di sisi lain, isu reunifikasi Semenanjung Korea tidak hanya milik kedua Korea, namun juga berkaitan erat dengan dinamika di lingkungan internasional.

Variabel politik domestik dalam penelitian ini merujuk pada dinamika internal baik yang terjadi di Korea Utara maupun di Korea Selatan. Korea Utara yang menganut ideologi Juche mempraktikkan sistem politik yang terkontrol dengan baik. Pergantian rezim secara turun temurun dari Kim Il Sung (1948-1994) kepada Kim Jong Il (1994-2011) dan lalu kepada Kim Jong Un (2011-Sekarang) tidak diikuti perubahan kebijakan politik.

Ideologi Juche yang dibangun Kim Il Sung menjadi pondasi bagi kebijakan politik Songun yang dikembangkan Kim Jong Il dan kebijakan politik Byungjin di era Kim Jong Un. Baik Songun dan Byungjin dapat dikatakan adalah turunan atau praktik dari ideologi Juche dengan penekanan pada sektor-sektor tertentu. Di era Kim Jong Il, kebijakan Songun menjadikan sektor pertahanan sebagai prioritas utama. Sementara di era Kim Jong Un, kebijakan Byungjin mencoba menciptakan keseimbangan antara pembangunan sektor pertahanan dan pembangunan sektor ekonomi.

Beberapa tahun belakangan ini, pembangunan sektor pertahanan dan sektor ekonomi di Korea Utara terlihat cukup signifikan. Sayangnya dunia Barat, termasuk kalangan media maupun pemerhati politik internasional, memberikan perhatian yang lebih besar pada berbagai ujicoba persenjataan yang dilakukan Korea Utara, yang mana membuat wajah Korea Utara terlihat lebih militeristik. Sementara berbagai perkembangan di sektor ekonomi yang dilakukan Korea Utara sebagai turunan dari kebijakan Byungjin di era Kim Jong Un, seperti kebijakan “Inmin Daejung” atau “Rakyat yang Utama” dan “Pembangunan Kawasan 20×10”, tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari masyarakat internasional.

Dalam situasi di mana pihak musuh selain membangun kapasitas dan kapabilitas militer juga memperkuat kerjasama militer dengan negara lain yang menggunakan skenario provokatif, tentu saja Korea Utara memiliki alasan yang sangat kuat untuk mempraktikkan sistem politik tertutup dan terkontrol yang didasarkan pada filosofi Juche, Songun, dan Byungjin. Akibat begitu besar tekanan yang dihadapi Korea Utara dari musuh-musuhnya, pembangunan sektor pertahanan dipandang sebagai sebuah keharusan dan berfungsi sebagai penjamin agar Korea Utara tidak menjadi “lame duck”dan “easy target” bagi musuh-musuh mereka. Korea Utara belajar dari begitu banyak kasus di mana negara yang tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas militer dapat dengan mudah dihancurkan negara lain.

Di Korea Selatan pun dinamika politik yang terus berkembang dan dinamis juga memberikan pengaruh pada perubahan politik luar negeri terkait hubungan negara itu dengan Korea Utara. Di awal kemerdekaan, Korea Selatan dipimpin tokoh sipil Rhee Syngman (1948-1960) yang mengembangkan praktik politik otoritarian dengan semangat antikomunis yang begitu besar. Di masa pemerintahannya, sama sekali tidak ada ruang dialog dengan Korea Utara. Era otoritarianisme sipil Rhee dilanjutkan kediktatoran militer yang dipimpin tokoh-tokoh militer Park Chunghee (1963-1979), Chun Doohwan (1981-1988) dan Roh Taewoo (1988-1993). Mereka memandang Korea Utara sebagai ancaman yang harus dihadapi dengan kekuatan militer. Dialog dengan Korea Utara dilakukan pada skala terbatas dan akhirnya tidak memperlihatkan hasil yang berarti.

Perubahan politik yang signifikan baru terjadi di tahun 1998, setelah Kim Daejung (1998-2003) yang mewakili kelompok progresif-demokratis memenangkan pemilihan presiden. Kim memandang Korea Utara sebagai rekan dialog untuk menciptakan perdamaian di Semenanjung Korea. Kebijakan Sunshine Kim Daejung dilanjutkan rekannya Roh Moohyun (2003-2008).

Di era selanjutnya, pemerintahan Korea Selatan kembali dikuasai oleh kelompok konservatif, Lee Myungbak (2008-2013) dan Park Geunhye (2013-2017) yang memandang Korea Utara sebagai sumber ancaman. Ruang dialog dengan Korea Utara kembali mengecil, sementara di sisi lain kemitraan sektor pertahanan dengan dua sekutu utama, Amerika Serikat dan Jepang, ditingkatkan secara signifikan.      

Setelah dua periode, era pemerintahan konservatif berakhir dan dilanjutkan Moon Jaein (2018-2022) yang mewarisi pendekatan progresif-demokratis seperti Kim Daejung dan Roh Moohyun. Kebijakan Moonshine yang dikembangkan Moon membawa perubahan yang sangat signifikan. Dua KTT Inter Korea terjadi pada periode itu, ditambah dua KTT Amerika Serikat-Korea Utara yang sedikit banyak meredakan ketegangan dan membangkitkan harapan akan terciptanya perdamaian di Semenanjung Korea. Namun era Moonshine tidak bertahan lama. Setelahnya pemerintahan progresif-demokratis digantikan pemerintahan yang dikontrol kelompok konservatif.

Presiden Yoon Seokyeol (2022-Sekarang) seperti pemimpin-pemimpin konservatif Korea Selatan lainnya menempatkan Korea Utara sebagai ancaman dan di saat bersamaan meningkatkan kembali kerjasama militer dengan sekutu utama.

Variabel lingkungan internasional yang memberikan pengaruh pada kebijakan luar negeri kedua Korea terkait reunifikasi dalam penelitian ini merujuk pada peran negara-negara yang secara langsung memiliki kepentingan di Semenanjung Korea. Setelah Perang Dunia Kedua berakhir, pihak yang paling berkepentingan di Semenanjung Korea adalah dua negara yang sebelumnya bersekutu, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Bila Uni Soviet berpengaruh pada kelompok pembebasan Korea di belahan utara yang dimotori Kim Il Sung, maka Amerika Serikat memberikan dukungan yang tidak kecil pada tokoh anti-Jepang dan juga anti-komunis Rhee Syngman di belahan selatan. Setelah Perang Dingin berakhir, Korea Utara kehilangan patron dan mengalami turbulence yang cukup signifikan. Amerika Serikat memanfaatkan kekosongan pengaruh asing di Korea Utara dengan menawarkan bantuan ekonomi sekaligus berupaya meredam keinginan Korea Utara mengembangkan nuklir sebagai sumber energi alternatif.

Pendekatan ini terganggu setelah Kim Il Sung meninggal dunia di tahun 1994 dan pemimpin baru yang menggantikan, Kim Jong Il, merasa harus mengambil kebijakan baru untuk menangkal kemungkinan pendudukan Korea Utara oleh kekuatan lain dengan alasan apapun, termasuk bantuan ekonomi. Intensitas hubungan antara Amerika Serikat dengan pemimpin konservatif Korea Selatan yang meningkat pada masa itu menjadi faktor yang semakin menyakinkan Korea Utara bahwa memperkuat sektor pertahanan adalah cara terbaik mencegah pendudukan asing.

Amerika Serikat selalu menempatkan isu perdamaian dan reunifikasi Semenanjung Korea dalam satu keranjang yang sama dengan isu denuklirisasi. Dengan kata lain, denuklirisasi menjadi syarat mutlak bagi Amerika Serikat untuk mendukung reunifikasi Semenanjung Korea. Sikap Amerika Serikat ini senada dengan sikap dua negara yang merupakan circle Korea Utara, yakni Republik Rakyat China dan Federasi Rusia, yang selalu memberikan dukungan pada sanksi PBB untuk Korea Utara terkait pengembangan persenjataan dan program nuklir Pyongyang.

Korut Menghentikan Reunifikasi

Setelah KTT dengan Korea Selatan pada bulan April 2018 dan menjelang KTT dengan Amerika Serikat di Singapura pada bulan Juni 2018, Korea Utara menghancurkan fasilitas nuklirnya untuk memperlihatkan itikad dan keinginan menciptakan perdamaian di Semenanjung Korea. Namun pembicaraan damai dengan Amerika Serikat terhenti setelah dalam KTT di Hanoi pada bulan Februari 2019 kedua negara tidak menandatangani kesepakatan apapun. Tidak ada penjelasan resmi mengapa Kim Jong Un tidak menandatangani dokumen yang sudah diletakkan di atas meja.

Promovendus menilai keputusan Kim Jong Un itu bernada protes pada Amerika Serikat yang tidak kunjung memperlihatkan itikad ke arah perdamaian seperti yang dilakukan Korea Utara dengan menghancurkan fasilitas nuklir. Sepanjang pembicaraan yang dimulai dari pertengahan 2018 sampai pertemuan di Hanoi itu Amerika Serikat terus menekan Korea Utara secara ekonomi. Salah satu contoh tekanan ini adalah kasus kapal pengangkut batubara milik Korea Utara, MV Wise Honest, yang ditangkap di perairan Kalimantan Timur, Indonesia, pada bulan April 2018.

Komunikasi Korea Utara dengan Amerika Serikat semakin buruk setelah terjadi pergantian rezim di Amerika Serikat pada tahun 2020. Joe Biden yang menggantikan Donald Trump memilih melanjutkan kebijakan strategic silence Barack Obama. Ketegangan di Semenanjung Korea meningkat dengan sangat signifikan setelah Yoon Sukyeol dari kelompok konservatif berkuasa di Korea Selatan. Pada situasi Prisoners’ Dilemma dinamika lingkungan nasional dan internasional memberikan pengaruh yang signifikan pada pilihan kebijakan luar negeri Korea Utara dan Korea Selatan terkait reunifikasi.

Dalam Sesi ke-10 Majelis Tertinggi Rakyat Korea ke-14 tanggal 15 Januari 2024, Presiden Komisi Urusan Negara Kim Jong Un meminta Korea Utara melupakan cita-cita reunifikasi Semenanjung Korea. Ini adalah puncak dari kekecewaan Kim Jong Un pada hostile policy yang diterapkan Korea Selatan dan Amerika Serikat. Menurut Kim, selama ini Korea Utara memandang Korea Selatan sebagai saudara sebangsa, dan memperjuangkan reunifikasi sebagai cita-cita bersama. Namun pemerintahan konservatif di Korea Selatan tidak lagi bisa diharapkan. Kim Jong Un meminta agar semua istilah di dalam Konstitusi Korea Utara terkait reunifikasi dihapuskan.

Dalam kesempatan itu ia juga menjelakan bahwa kekuatan militer yang dikembangkan Korea Utara bukan untuk melakukan serangan pendahuluan demi mewujudkan “reunifikasi dengan kekuatan senjata”, melainkan untuk membela diri.

Korea Utara tidak menginginkan perang, namun juga tidak berniat menghindarinya. Ini artinya, apabila perang menjadi kenyataan yang harus mereka hadapi, Korea Utara tidak akan pernah berusaha menghindarinya dan akan menghukum musuh dengan tegas, dengan mengerahkan seluruh kekuatan militer termasuk senjata nuklir.

Sehari setelah pernyataan Kim Jong Un di hadapan Presidium Majelis Tertinggi Rakyat Korea, Presiden Yoon Sukyeol memberikan respon dalam sidang kabinet di Seoul. Yoon menyebut kebijakan Korea Utara itu sebagai upaya mengabaikan sejarah dan kepentingan rakyat Korea Utara. Selain itu, Yoon menyampaikan keinginannya memberikan dukungan untuk membantu pembelot Korea Utara menetap di Korea Selatan. Kementerian Unifikasi diinstruksikan untuk menetapkan hari khusus bagi para pembelot dari Korea Utara. Dia juga mengancam akan melakukan pembalasan berkali-kali lipat bila Korea Utara terus memprovokasi Korea Selatan.

Hasil: Solusi Dua Negara

Isu reunifikasi Semenanjung Korea yang telah berlangsung selama tujuh dekade sejak akhir Perang Dunia Kedua dipengaruhi dinamika lingkungan domestik Korea Utara dan Korea Selatan serta tidak terlepas dari keterlibatan negara-negara besar yang memiliki kepentingan di kawasan. Hal ini sejalan dengan logika permainan dua tingkat (Two-Level Games) yang dikembangkan Putnam (1988) yang mengatakan bahwa kebijakan luar negeri suatu negara memiliki keterkaitan (entanglement) dengan dinamika domestik dan lingkungan internasional yang sama-sama signifikan dan bahkan saling mempengaruhi. 

Bila hanya melibatkan kedua Korea, reunifikasi Semenanjung Korea tampaknya lebih mudah untuk dilakukan. Tentu saja, walau disebut lebih mudah namun perbedaan ideologi dan sistem politik antara Korea Utara dan Korea Selatan bukan hal sederhana.

Isu reunifikasi Semenanjung Korea menjadi semakin kompleks ketika faktor dinamika lingkungan internasional dimasukkan dalam pertimbangan. Masyarakat internasional, baik Amerika Serikat dan Jepang serta negara-negara lain dalam circle Korea Selatan, maupun Republik Rakyat China dan Federasi Rusia dalam circle Korea Utara, mengaitkan isu reunifikasi sebagai salah satu wujud perdamaian kedua Korea dengan isu denuklirisasi Semenanjung Korea.

Bagi Korea Utara yang merasa terancam oleh lingkungan internasional, khususnya aliansi Korea Selatan dan Amerika Serikat, mempersenjatai diri dengan nuklir menjadi semacam keharusan. Dengan pertahanan yang memadai, termasuk memiliki senjata nuklir, Korea Utara yakin negara itu tidak akan mengalami pendudukan oleh negara lain seperti yang dialami banyak negara yang tidak memiliki pertahanan nasional yang memadai.

Tetapi bahkan di masa-masa yang menegangkan sekali pun Korea Utara tetap bersedia membuka pintu dialog untuk mencapai perdamaian dan denuklirisasi Semenanjung Korea. Pada periode 2018 dan 2019 masyarakat internasional menyaksikan kesediaan Korea Utara melibatkan diri dalam pembicaraan damai dengan Korea Selatan dan Amerika Serikat. Bagaimana pun ini cukup menjanjikan kendati belum dapat menghentika konflik yang berlangsung sejak Perang Korea berakhir.

Perubahan rezim di Korea Selatan dan Amerika Serikat membawa hubungan Korea Utara dengan Korea Selatan dan lingkungan internasional kembali memburuk, sampai akhirnya Korea Utara mengakhiri mimpi reunifikasi Semenanjung Korea pada Januari 2024. Situasi terbaru ini tentu membutuhkan penelitian lebih lanjut terkait kemungkinan intensitas konflik ataupun sebaliknya, peredaan ketegangan di masa depan.

Menurut hemat Promovendus, keputusan Korea Utara ini untuk sementara dapat dianggap sebagai proposal yang konstruktif demi mengakhiri konflik di Semenanjung Korea. Dengan mengatakan tidak lagi menjadikan reunifikasi Semenanjung Korea sebagai agenda dan tujuan nasional, Korea Utara bisa jadi tengah menawarkan pendekatan baru, yakni two state solution atau solusi dua negara, untuk mengakhiri konflik secara permanen.

Saran Praktis

Selanjutnya Promovendus merekomendasikan kehidupan bertetangga yang harmonis dan damai antara Korea Utara dan Korea Selatan atau peaceful co-existence. Kondisi ini tentu tidak bisa dibangun dalam satu malam. Kerja politik dan diplomasi yang tidak hanya melibatkan kedua Korea namun juga masyarakat internasional sangat dibutuhkan.

Menciptakan perdamaian di Semenanjung Korea bukan hanya kewajiban Korea Utara, melainkan ditanggung bersama kedua Korea dan masyarakat internasional. Dengan kata lain, denuklirisasi Semenanjung Korea pun bukan hanya kewajiban Korea Utara, melainkan kewajiban masyarakat internasional terlebih multipihak yang selama beberapa dekade belakangan berusaha menanamkan pengaruh secara signfikan di Semenanjung Korea. Menciptakan Semenanjung Korea yang damai dan bebas dari senjata nuklir dan pameran kekuatan yang gigantic dan provokatif harus menjadi agenda kerja bersama masyarakat internasional secara konsisten.

Saran Akademis

Promovendus menilai penggunaan pisau analisis Game Theory dan logika Two Level-Games yang didalilkan Putnam (1988) sangat membantu dalam penelitian mengenai reunifikasi Semenanjung Korea yang pada faktanya tidak hanya mempertimbangkan kepentingan Korea Utara maupun Korea Selatan, namun juga kepentingan negara-negara lain yang tidak ingin kehilangan pengaruh di kawasan. Variabel domestik berupa dinamika politik internal di Korea Utara dan Korea Selatan dapat dilihat dengan lebih jelas. Begitu juga dengan dinamika di lingkungan internasional yang melibatkan Amerika Serikat, Republik Rakyat China, Federasi Rusia, dan Jepang.

Namun demikian, penggunaan pisau analisis Game Theory dalam studi reunifikasi Semenanjung Korea ini mengalami kesulitan dalam hal menentukan kapan permainan berakhir dan memastikan bagaimana payoff dari permainan. Ini memiliki pengaruh yang sangat signifikan pada penentuan akhir studi. Bagaimanapun, isu reunifikasi Semenanjung Korea telah bergulir sejak akhir Perang Korea tahun 1953. Berbagai peristiwa telah terjadi, peningkatan ketegangan dan peredaan ketegangan silih berganti.

Keputusan Kim Jong Un untuk menghapuskan reunifikasi Semenanjung Korea dari Konstitusi Korea Utara diikuti pembubaran lembaga-lembaga yang berkerja untuk reunifikasi, serta penghancuran simbol-simbol reunifikasi, yang menurut Promovendus dalam penelitian ini merupakan temuan terbaru dan “hasil akhir” dari permainan pun bisa jadi akan kembali berubah manakala terjadi peristiwa di lingkungan internal dan lingkungan internasional yang sangat signifikan dan saling mempengaruhi.

Promovendus menilai, tantangan dari penggunaan pisau analisis Game Theory dan pendekatan logika Two-Level Games dalam penelitian dimana objek penelitian sangat dinamis seperti studi mengenai reunifikasi Semenanjung Korea ini dapat disempurnakan dengan menggunakan pendekatan-pendekatan lain yang dimungkinkan.

Pimpinan Sidang, Sekretaris Sidang, Tim Promotor, Tim Oponen Ahli dan Representasi Guru Besar, serta hadirin yang saya hormati. Demikianlah pertanggungjawaban akademik disertasi ini Promovendus sampaikan. Terima kasih atas perkenannya.

Wassalamualaikum Warrahmatulahi Wabarakatuh.


[Penuls adalah Ketua Umum JMSI (Jaringan Media Siber Indonesia), Anggota Dewan Pers di Jakarta, Tokoh Pers Nasional, serta aktif di berbagai organisasi nasional dan internasional]

Berbagi

Posting Komentar