Politik dan Sinetron | Fahrizal Siagian
- Diposting oleh : Redaksi
- pada tanggal : Januari 27, 2021
POLITIK DAN SINETRON
Oleh:
Fahrizal Siagian
Universitas Islam Sumatera Utara
71200111104
Hegemoni pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 9 Desember 2020 telah usai, walaupun diselimuti bencana multinasional pandemi covid19 yang belum berujung sampai detik ini. Walaupun demikian tidak menutup kesempatan untuk bersukaria menyambut pesta demokrasi ini. Secara Etimologis, Politik berasal dari bahasa Belanda yaitu Politiek dan bahasa Inggris yaitu Politics yang sama-sama bersumber dari bahasa Yunani kuno yaitu Politikos yang artinya proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam bernegara. Sinetron merupakan parodi panggung hiburan yang tersusun atas lakon (peran) dan pelakon (pemeran) dalam satu tujuan yaitu menghibur pemirsa layar kaca tanah air.
Jika sinetron dikaitkan dengan kekuasaan, politik mempunyai arti segala sesuatu cara dan upaya untuk memperoleh kekuasaan baik secara konstitusional maupun inkonstitusional. Poltik merupakan wadah atau arena bermain sandiwara dengan berbagai cara agar mendapatkan tempat yang diinginkan baik cara itu hitam atau putih. Untaian kalimat demi kalimat disampaikan di depan khalayak ramai untuk menarik simpati rakyat. Tidak sedikit yang menyampaikan untaian janji-janji manis penuh dengan konspirasi. Disampaikan dengan menaruh harapan agar rakyat memilihnya. Ketika dipilih dan telah menduduki jabatan yang dimenangkan, maka kodrat manusia sebagai makhluk yang pelupa pun dijadikan cara atau solusi sebagai pelarian dari kejaran janji yang pernah terucap dihadapan rakyat. Lupa atau tidak mau tau? hanya beliau dan Sang Pencipta-lah yang mengetahuinya.
Politik sudah pasti ada yang menjadi korban, karena sejatinya politik itu merupakan ajang sikut menyikut untuk mendapatkan sebuah tujuan yang didambakan. Dimanakah perbedaan antara politik dan sinetron itu? Perbedaannya jika Politik merupakan panggung sandiwara, namun para pelakon sinetron belum tentu pemain politik. Kemudian politik berbicara pada konteks sikut-menyikut kekuasaan, beda halnya dengan sinetron yang tidak ada sangkut pautnya dengan kekuasaan. Namun sinetron hanyalah sebuah parodi hiburan yang non-politis. Politik seolah lebih kejam dari hukum. Jika seseorang salah di mata hukum, maka dia akan di hukum kemudian selesai. Namun jikalau seseorang salah di mata politik, maka dia dapat dihukum berkali-kali.
Dalam dunia perpolitikan pada iklim negara demokrasi, kampanye merupakan salah satu bumbu dan menjadi syarat mutlak untuk mengikuti pesta demokrasi. Kampanye merupakan ajang promosi-promosi diri, untuk mensuggesti rakyat agar memilih dirinya. Kampanye sudah ada aturan di dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Karena sifat kampanye sangat Urgent, walaupun ditengah pandemi ini, kampanye tetap dilaksanakan sesuai PKPU No.13 Tahun 2020 yang menyatakan tentang pembatasan jumlah peserta kampanye hanya 50 orang saja. Tetapi, pendidikan nasional tidak kunjung dikembalikan ke situasi semula yaitu tatap muka yang jauh lebih efektif dibanding melalui daring (dalam jaringan). Karena pendidikan dan kebudayaan menjadi wewenang dan tanggungjawab pemerintah pusat. Tetapi dengan alasan Covid-19, semua diliburkan secara tatap muka dan dialihkan dengan sistem baru yang kita kenal dengan sebutan daring (dalam jaringan).
Kembali ke pembahasan pesta demokrasi yang baru saja berlangsung. Ada 309 daerah di seluruh Indonesia yang telah menyelenggarakan pilkada serentak pada Rabu, 9 Desember 2020 tahun lalu. Dengan begitu, ada 309 daerah yang memainkan sinetron politiknya dengan berbagai cara. Walaupun politik dan sinetron sama-sama panggung sandiwara, harapan besar selalu ada, agar lahirnya pemimpin yang memang berintegritas, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat serta paham situasi kondisi rakyat demi tercapainya keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.
Mengenai sosok pemimpin yang dicintai rakyat yang bertindak sebagai penyambung lidah rakyat Indonesia sekaligus founding fathers Indonesia, Bung Karno sangatlah dirindukan rakyat Indonesia. Pemimpin yang memahami kondisi rakyatnya, serta memiliki rasa nasionalisme yang tidak perlu diragukan lagi. Semoga menjelang hari jadi Indonesia yang ke-100 tahun pada 2045 mendatang, akan lahir generasi pemimpin bangsa seperti Bung Karno atau tokoh penting bangsa lainnya yang memiliki power dan kharisma seperti Bung Karno Putra Sang Fajar.**
Data Penulis:
Penulis saat ini mahasiswa aktif di Fakultas Hukum, Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), selain menjadi mahasiswa penulis juga aktif di Komunitas Pemuda Pengamat Sumatera Utara (KPP-SUMUT) dan GM FKPPI Sumatera Utara.