Kampus-Medan.Com
Kampus-Medan.Com
Online
Halo 👋
Ada yang bisa kami bantu?

Sekarang Bebas Berkreasi, Namun Zaman Orde Baru Rambut Gondrong Itu Dilarang

Sekarang Bebas Berkreasi, Namun Zaman Orde Baru Rambut Gondrong Itu Dilarang

Peringatan dilarang berambut gondrong di Danres 932 Salatiga, Foto : Indonesia Raya, 06/12/1973

Kampus-medan.com -
 Dianggap tak mencerminkan kepribadian bangsa dan bisa menjurus perbuatan kriminal, pemerintah Orde Baru melarang anak-anak muda berambut gondrong.


Para bedinde Orde Baru mulai risih terhadap hal-hal yang berbau urakan. Pada 1971, artis-artis berambut gondrong dilarang tampil di TVRI. Pelan-pelan, larangan ini menyebar ke gedung-gedung pemerintahan, sekolah, kampus, serta tempat publik.


Institusi militer yang mula-mula memberlakukan larangan tertulis. Pada 15 Januari 1972, Jenderal Soemitro, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, menginstruksikan kepada bawahannya agar menyelamatkan pertumbuhan atau perkembangan kehidupan pemuda-pemudi remaja kita.


Ia diperkuat oleh instruksi Presiden Soeharto, merangkap Panglima ABRI, agar Kepala Staf Angkatan dan Kapolri, serta institusi di bawahnya, membubarkan perkumpulan anak-anak muda dari keluarga di lingkungan ABRI. Tujuannya, mencegah timbulnya pengaruh yang dapat merugikan nama baik ABRI di mata masyarakat.


Eufemismenya adalah menghindari anak-anak muda tak terlibat kegiatan yang menjurus perbuatan kriminal.


Kuasa atas tubuh pria kian menjadi-jadi setelah Soeharto mengirimkan radiogram agar anggota ABRI dan karyawan sipil yang bekerja di lingkungan militer beserta anggota keluarga mereka untuk tidak berambut gondrong.


Akhirnya, pada 1 Oktober 1973, Jenderal Soemitro mengeluarkan pernyataan dalam acara bincang-bincang di TVRI dengan topik 'Rambut gondrong membuat pemuda menjadi onverschillig alias acuh tak acuh'.


Batas waktunya 5 Oktober, hari ulang tahun ABRI, alhasil, anak-anak dari keluarga polisi dan militer beramai-ramai mencukur rambut.


Ini semua terjadi sebelum meletus Peristiwa 15 Januari 1974, atau dikenal dengan Peristiwa Malari, yang menjadi titik-balik bagi gerakan pemuda pendukung awal Soeharto.


Buku ini mengisi celah kosong akan literatur gejala diktatorsip Orde Baru, dengan mengambil sudut paling sempit dan elementer. Dirigisme “ekonomi sebagai panglima” tak cuma menyumbat saluran politik dan kebebasan ideologi, tapi juga menjangkau hal-hal sepele berupa rambut kepala.


Sesungguhnya, satu dekade kemudian, sikap kebencian militer Orde Baru pada kuasa atas tubuh tak sepenuhnya menghilang.


Hampir setiap hari ditemukan mayat bertato dengan luka tembak, Tato dianggap sinyalemen subservif.


Usai Soeharto tumbang, seiring menguatnya wacana syariat Islam, giliran warga sipil yang mendominasi, dan dampaknya tak kalah serius bagi kebebasan individu.


Sumber: Majalah Historia

Berbagi

Posting Komentar